perubaha

20.59 Edit This 0 Comments »

Mencontek Massal

20.59 Edit This 0 Comments »
Oleh Ahmad Hudori
Suara Perubahan-KABAR tak sedap menimpa dunia pendidikan kita. Apalagi kalau bukan aksi kecurangan pada pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang selalu terulang setiap tahun. Kali ini siswa di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Gadel 2, Tandes Surabaya diberitakan melakukan aksi mencontek massal ketika UN tingkat SD berlangsung.

Oknum guru sekolah terlibat langsung di dalamnya. Guru secara terang-terangan membujuk AL (nama samaran), yang juga siswa terpandai di sekolah agar berkenan membuat contekan bagi teman lainnya.

Kasus ini patut disayangkan. Guru sekolah yang semestinya memberi bekal kejujuran pada anak didik justru mengajarkan tindakan tidak terpuji. Mencontek, apa pun alasannya berseberangan dengan nilai-nilai kejujuran yang pada zaman ini sudah semakin sulit ditemukan. Sekolah gagal menjadi benteng moral terakhir putra-putri Indonesia. Di sekolah mereka justru diajari berbohong.

Aksi mencontek massal bukan perkara baru. Hampir setiap UN, mencontek massal sudah lumrah terjadi. Hanya saja, tidak semuanya mencuat ke permukaan. Biasanya sudah ada semacam ”kesepakan gelap” antara guru dan pengawas untuk tidak terlalu ketat dalam mengawasi ujian.
Mencontek massal bisa muncul karena adanya ketakutan yang berlebihan, misalnya takut kalau siswa tidak lulus 100%. Sekolah lalu menempuh pelbagai cara yang dapat mencairkan ketakutan itu.

Ada satu hal yang belum bisa ditanamkan oleh sekolah, yakni kepercayaan diri. Kasus tersebut sebagai bukti baik sekolah maupun siswa belum memiliki kepercayaan diri yang memadai. Mereka masih ragu atas kemampuan diri sendiri. Di sinilah perlu ditegaskan lagi pentingnya kepercayaan diri. Bagimanapun sekolah berkewajiban membentuk manusia yang percaya diri, bukan sebaliknya. Semoga kasus tersebut menjadi pelajaran berharga betapa percaya diri dalam dunia pendidikan sangat penting ketimbang nilai-nilai ujian yang melangit, namun ditempuh dengan cara-cara tidak benar. Jum’at(10/6)

Prof. Dr.Ir Wani Hadi Utomo : Mengaktualisai Pancasila Dalam Kehidupan

20.39 Edit This 0 Comments »
MALANG- merebaknya konflik dan patologi sosial di tengah-tengah masyarakat tidak disebabkan oleh faktor yang tunggal. Penyebabnya bisa beragam dan berkelindan satu sama lain. Bisa karena lingkungan, karena sistem pendidikan yang salah, bisa juga karena pemahaman agama yang keliru. Di Universitas Tribhuwana Tunggadewi (UNITRI) Malang. Terlepas dari kenapa dan bagaimana konflik dan patologi sosial terjadi di tengah-tengah masyarakat, menurut Wani dengan upaya untuk menghidupkan kembali semangat berpancasila di tengah-tengah masyarakat. Tapi apakah cara menghidupkannya dengan memasukkannya (kembali) ke dalam rikulum atau tidak, bukan masalah yang penting. Yang paling penting adalah bagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karenanya, yang kita butuhkan bukan anak-anak menghapal Pancasila, atau para guru dan dosen memahami Pancasila. Tak ada gunanya hapalan, tidak ada nilainya Pemahaman, jika tidak dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang di ungkapkan Rektor Unitri Prof. Dr.Ir Wani Hadi Utomo yang menjadi pembicara dalam seminar nasional Sabtu (11/6). Tanggal 1 Juni 1945 menjadi hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Kala itu bangsa Indonesia menentukan Pancasila sebagai ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Indonesia menggunakan Pancasila karena satu-satunya dasar negara yang bisa mempersatukan bangsa. Untuk sampai pada tahap aktulisasi, langkah pertama yang diperlukan mungkin bukan menjadikan Pancasila sebagai mata pelajaran/mata kuliah. Tapi bagaimana menjadikan Pancasila sebagai ”milik bersama”. ungkapnya.
Menurut guru besar FISIP Universitas Wijaya kusuma Surabaya ,pancasila kita jadikan sebagai landasan moral yang objektif, yang menjadi milik semua komponen etnis dan agama yang ada diIndonesia.Menjadikan Pancasila sebagai mata pelajaran/mata kuliah tersendiri hanya akan mengisolasi Pancasila dari pelajaran-pelajaran lain. Untuk menjadikan Pancasila sebagai nilai yang objektif,ia harus merasuk ke dalam semua mata pelajaran/mata kuliah. Sebagai contoh, pelajaran agama harus diajarkan dalam perspektif Pancasila sehingga tak menimbulkan dikotomi antara keduanya. Begitu pun pada saat mengajarkan mata pelajaran yang lain.Setelah berhasil diobjektifikasi, disadari atau pun tidak, nilai-nila Pancasila akan terinternalisasi ke dalam jiwa anak didik/mahasiswa. Setelah menginternalisasi maka aktualisasi menjadi keniscayaan.
Karena setiap tindakan yang kita lakukan pada dasarnya merupakan proses aktualisasi dari apa yang terpikir dalam otak, dan terdetik dalam benak. Seseorang yang telah mengaktualisasikan Pancasila bisa diidentifikasi, pertama, jika beragama ia tidak eksklusif; menerima kebenaran agama-agama lain sebagai kenyataan yang harus dihormati sebagaimana ia merasa orang lain juga harus menghormati keyakinan agama yang dianutnya. Kedua, dalam politik ia tidak rasis dan mementingkan kepentingan rakyat di atas segalanya karena ia merupakan mandataris rakyat. Ia diberikan kewenangan oleh rakyat untuk memajukan dan mensejahterahkan rakyat. Ketiga, jika ia penegak hukum maka ia akan menegakkannya dengan adil, tidak berpihak pada kekuasaan dan uang. Pedang keadilan yang dipegangnya tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Ia berprinsip keadilan harus ditegakkan walau langit akan runtuh. Selain ketiga hal itu, last but not least, dimana pun berada ia akan bisa menempatkan diri secara proporsional dan senantiasa menjadi teledan bagi sesamanya.

Eko Marhaeniyanto, Ir., MP : Bangsa ini tidak Punya masa depan

14.13 Edit This 1 Comment »
Bangsa ini tidak punya masa depan jika model pendidikan yang diterapkan pada generasi penerusnya tetap seperti sekarang. Hal ini diungkapkan Eko Marhaeniyanto, Ir., MP , Selaku Kepala Badan Penjamin mutu ( BPM) UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGA DEWI MALANG ( UNITRI ) Di Ruang kerja.
Model pendidikan yang sekarang diterapkan pemerintah dan banyak diterapkan di sekolah-sekolah, kata Eko , membuat generasi penerus bangsa ini jadi konsumtif dan penonton di tengah proses pembangunan. Ini terlihat dengan minimnya budaya membaca.

Padahal budaya membaca adalah pangkal dari budaya belajar. “Maraknya permainan dunia maya yang begitu canggih dan suguhan video porno di masyarakat karena budaya membaca makin rendah, sebaliknya, budaya menonton yang makin marak. Padahal proses pembelajaran dimulai dari membaca, kemudian menulis, lalu praktik,” ujarnya ( 14/5).

Untuk itu sangat penting mengembangkan pendidikan karakter dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan karakter, mestinya melekat dalam pendidikan. Namun yang terjadi kini, pendidikan karakter dilepaskan dari pendidikan. “Pendidikan hanya berorientasi pada unsur akademik saja, bukan karakternya,” kata dia.

Pendidikan harus mengembangkan karakter, misalnya tanggungjawab, kejujuran, toleran, dan disiplin. Nilai-nilai ini juga harus dipraktikkan para guru agar bisa jadi contoh buat siswanya.

Agar tidak terlanjur, Eko merekomendasikan beberapa hal, diantaranya : tidak mengagung-agungkan evaluasi belajar secara akademik. Pada sisi lain pendidikan karakter juga dikembangkan di dalam dan luar kelas. Cara lainnya, mengembangkan budaya baca yang dilanjutkan dengan budaya tulis dan mempraktikkan apa yang dibaca dan ditulisnya..

Dalam hal ini, keluarga memiliki peran yang sangat penting untuk membangun pendidikan karakter manusia. Ahmad Hudori (ah/hd)

Jatim Rekomendasikan Perubahn UN

13.18 Edit This 0 Comments »
Suara Perubahan, ZAINUDIN MALIKI Ketua Dewan Pendidikan Jatim mengatakan dari evaluasi Ujian Nasional (UN) SMP dan SMA masih ditemukan sejumlah kecurangan yang dilakukan siswa bahkan kepala sekolah.

Orientasinya, kata ZAINUDIN seperti dilaporkan Ahmad reporter Suara Perubahan , Senin (02/04), hanya sekedar mengejar skor tes. Sehingga melakukan cara-cara yang tidak benar dan mengabaikan proses bagaimana nilai itu diperoleh.

Dewan Pendidikan Jatim membuat rekomendasi pada pemerintah untuk mereformasi UN. Yakni, tidak lagi menjadikan UN sebagai penentu kelulusan siswa tapi hanya untuk memetakan kualitas pendidikan sebagai wujud akuntabilitas pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan.

Menurut ZAINUDIN, akar masalah UN harus dibenahi. Kalau tidak, orientasi sekolah masih mengejar skor tes mengabaikan proses bagaimana nilai diperoleh sehingga nilai dilakukan dengan cara-cara yang tidak benar.

Mengapa mereka mau melakukan ? Anak didik tidak mau usahanya selama 3 tahun gagal hanya waktu beberapa hari saat UN. Pikiran-pikiran inilah yg mendorong jalan pintas kecurangan UN.

Akar masalah, ungkap ZAINUDIN, harus dibenahi. Kalau tidak akan terus dibayangi kecurangan. Jalan keluarnya reformasi sistem UN.

UN adalah amanah UU Sisdiknas tapi hanya untuk memetakan, banch marking wujud akuntabilitas pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan. UN diukur untuk ketuntasan belajar siswa untuk semua mata pelajaran. diukur dengan kompetensi bukan skor tes, bukan hanya melalui UN. (Ah/dk)

PHK, Momok Bagi Buruh

13.09 Edit This 1 Comment »
Momok Bagi Buruh, Hindari PHK !


PHK merupakan momok bagi setiap pekerja di sektor apapun. Sebab itu, PHK harus sedapat mungkin dihindarkan.

Lembaga tripartit yang mewadahi aspirasi pekerja, pengusaha dan Pemerintah diharapkan dapat berfungsi maksimal. Perselihan yang menyangkut nasib buruh dan perusahaan dapat diselesaikan dengan baik sehingga tidak sampai terjadi PHK.

Pernyataan Presiden ini disampaikan Presiden dalam memperingati hari buruh sedunia bersama karyawan PT Keramik Kemenangan dan Danon Aqua di kawasan Putri Bogor, Minggu (01/05).

Tentang tuntutan buruh, tingginya eskalasi buruh kontrak dan rendahnya jaminan sosial bagi buruh, Ppresiden mengatakan Pemerintah serius memperhatikan tuntutan itu dan berusaha memenuhinya sesuai kemampuan.

Karena itu, Presiden berharap ada kerjasama yang baik antara karyawan dengan perusahan dalam memenuhi hak dan kewajiban.

Dilaporkan JOSE reporter Suara Surabaya, Minggu (01/05), peringatan hari buruh diakhiri makan bersama makan nasi kotak yang menunjukkan tidak adanya perbedaan antara Presiden dan buruh.(jos/git)

Generasi yang terbuang

12.59 Edit This 2 Comments »
Pada masa kini dengan adanya globalisasi, banyak sekali kebudayaan yang masuk ke Indonesia, sehingga tidak dipungkiri lagi muncul banyak sekali kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Kelompok-kelompok tersebut muncul dikarenakan adanya persamaan tujuan atau senasib dari masing-masing individu maka muncullah kelompok-kelompok sosial di dalam masyarakat. Kelompok-kelompok sosial yang dibentuk oleh kelompok anak muda yang pada mulanya hanya dari beberapa orang saja kemudian mulai berkembang menjadi suatu komunitas karena mereka merasa mempunyai satu tujuan dan ideologi yang sama.


Salah satu dari kelompok tersebut yang akan kita bahas adalah kelompok “Punk”, yang terlintas dalam benak kita bagaimana kelompok tersebut yaitu dengan dandanan ‘liar’ dan rambut dicat dengan potongan ke atas deng...an anting-anting. Mereka biasa berkumpul di beberapa titik keramaian pusat kota dan memiliki gaya dengan ciri khas sendiri. “Punk” hanya aliran tetapi jiwa dan kepribadian pengikutnya, akan kembali lagi ke masing-masing individu. Motto dari anak-anak “Punk” itu tersebut, Equality (persamaan hak) itulah yang membuat banyak remaja tertarik bergabung didalamnya. “Punk” sendiri lahir karena adanya persamaan terhadap jenis aliran musik “Punk” dan adanya gejala perasaan yang tidak puas dalam diri masing-masing sehingga mereka mengubah gaya hidup mereka dengan gaya hidup “Punk”..

“Punk” yang berkembang di Indonesia lebih terkenal dari hal fashion yang dikenakan dan tingkah laku yang mereka perlihatkan. Dengan gaya hidup yang anarkis yang membuat mereka merasa mendapat kebebasan. Namun kenyataannya gaya hidup “Punk” ternyata membuat masyarakat resah dan sebagian lagi menganggap dari gaya hidup mereka yang mengarah ke barat-baratan. Sebenarnya, “Punk” juga merupakan sebuah gerakan perlawanan anak muda yang berlandaskan dari keyakinan ”kita dapat melakukan sendiri”
Jumlah anak “Punk” di Indonesia memang tidak banyak, tapi ketika mereka turun ke jalanan, setiap mata tertarik untuk melirik gaya rambutnya yang Mohawk dengan warna-warna terang dan mencolok. Belum lagi atribut rantai yang tergantung di saku celana, sepatu boot, kaos hitam, jaket kulit penuh badge atau peniti, serta gelang berbahan kulit dan besi seperti paku yang terdapat di sekelilingnya yang menghiasi pergelangan tangannya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari busana mereka. Begitu juga dengan celana jeans super ketat yang dipadukan dengan baju lusuh, membuat image yang buruk terhadap anak “Punk” yang anti sosial.
Anak “Punk”, mereka kebanyakan di dalam masyarakat biasanya dianggap sebagai sampah masyarakat Tetapi yang sebenarnya, mereka sama dengan anak-anak lain yang ingin mencari kebebasan. Dengan gaya busana yang khas, simbol-simbol, dan tatacara hidup yang dicuri dari kelompok-kelompok kebudayaan lain yang lebih mapan, merupakan upaya membangun identitas berdasarkan simbol-simbol.
Gaya “Punk” merupakan hasil dari kebudayaan negara barat yang ternyata telah diterima dan diterapkan dalam kehidupan oleh sebagian anak-anak remaja di Indonesia, dan telah menyebabkan budaya nenek moyang terkikis dengan nilai-nilai yang negatif. Gaya hidup “Punk” mempunyai sisi negatif dari masyarakat karena tampilan anak “Punk” yang cenderung ‘menyeramkan’ seringkali dikaitkan dengan perilaku anarkis, brutal, bikin onar, dan bertindak sesuai keinginannya sendiri mengakibatkan pandangan masyarakat akan anak “Punk” adalah perusak, karena mereka bergaya mempunyai gaya yang aneh dan seringnya berkumpul di malam hari menimbulkan dugaan bahwa mereka mungkin juga suka mabuk-mabukan, sex bebas dan pengguna narkoba.



Awalnya pembentukan komunitas “Punk” tersebut terdapat prinsip dan aturan yang dibuat dan tidak ada satu orangpun yang menjadi pemimpin karena prinsip mereka adalah kebersamaan atau persamaan hak diantara anggotanya. Dengan kata lain, “Punk” berusaha menyamakan status yang ada sehingga tidak ada yang bisa mengekang mereka. Sebenarnya anak “Punk” adalah bebas tetapi bertanggung jawab. Artinya mereka juga berani bertanggung jawab secara pribadi atas apa yang telah dilakukannya. Karena aliran dan gaya hidup yang dijalani para “Punkers” memang sangat aneh, maka pandangan miring dari masyarakat selalu ditujukan pada mereka. Padahal banyak diantara “Punkers” banyak yang mempunyai kepedulian sosial yang sangat tinggi.
Komunitas anak “Punk” mempunyai aturan sendiri yang menegaskan untuk tidak terlibat tawuran, tidak saja dalam segi musikalitas saja, tetapi juga pada aspek kehidupan lainnya. Dan juga komunitas anak “Punk” mempunyai landasan etika ”kita dapat melakukan sendiri”, beberapa komunitas “Punk” di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Malang merintis usaha rekaman dan distribusi terbatas. Komunitas tersebut membuat label rekaman sendiri untuk menaungi band-band sealiran sekaligus mendistribusikannya ke pasaran. Kemudian berkembang menjadi semacam toko kecil yang disebut distro. Tak hanya CD dan kaset, mereka juga memproduksi dan mendistribusikan t-shirt, aksesori, buku dan majalah, poster, serta jasa tindik (piercing) dan tatoo. Produk yang dijual seluruhnya terbatas dan dengan harga yang amat terjangkau. Kemudian hasil yang didapatkan dari penjualan tersebut, sebagian dipergunakan untuk membantu dalam bidang sosial, seperti membantu anak-anak panti asuhan meskipun mereka tidak mempunyai struktur organisasi yang jelas. Komunitas “Punk” yang lain yaitu distro merupakan implementasi perlawanan terhadap perilaku konsumtif anak muda pemuja barang bermerk luar negeri.

Mari kaum muda kita rapatkan barisan tuk melawan kapitalisme.otoriter.pembodohan.penindasan.
Dan sistem-simtem yg merugikan kaum umat manusia d negri ini